Rabu, 18 Maret 2009

Partisipasi Etnis Tionghoa di Kancah Perpolitikan Sibolga Masih Minim
TIGOR MANALU - SIBOLGA
Tingkat partisipasi dan tingkat keterlibatan etnis Tionghoa di kancah perpolitikan khususnya di Kota Sibolga dilaporkan masih sangat minim. Buktinya, pada pesta demokrasi kali ini, baru segelintir etnis Tionghoa terlibat dalam kepengurusan partai politik (parpol), begitu juga calon legislatif (caleg) bahkan dalam kampanye.

Seperti contoh pada saat berlangsungnya karnaval kampanye damai yang dilaksanakan oleh KPUD Kota Sibolga dengan peserta seluruh partai politik (parpol) yang ada di daerah itu, rata – rata masyarakat Tionghoa hanya menyaksikan dari depan rumah atau dalam rumah masing – masing। Hanya segelintir yang melihat langsung ke jalan dan ikut pada karnaval tersebut।

Maruli Yap (53) selaku Hubungan Masyarakat (Humasy) Persatuan Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), kota Sibolga, mengaku bahwa, situasi perpolitik saat ini bagi kalangan Tionghoa sudah jauh berubah dari tahun – tahun sebelumnya.

“Kalau dulu memang, jumlah etnis Tionghoa yang ikut serta dalam partai sangat sedikit। Namun, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, jumlah etnis Tionghoa yang melibatkan diri dalam kancah perpolitikan semakin banyak। Terbukti, pada pemilu pada tahun 2009 ini, banyak etnis Tionghoa yang mencalonkan diri sebagai Caleg atau pengurus parpol,”katanya।

Menurut Maruli, kalaupun dikatakan keikutsertaan etnis Tionghoa di kancah perpolitikan minim, bukan disebabkan oleh ketidakinginan, tetapi hal tersebut terjadi oleh karena kesibukan sehari – hari mereka dalam bekerja. Sehingga, tidak memiliki waktu untuk bergumul dalam kancah perpolitikan.

Asiang (43), salah seorang etnis Tionghoa di Kota Sibolga tidak menampik hal tersebut। Namun, Ia tidak mau berspekulasi apa faktor penyebab minimnya tingkat partisipasi etnis Tionghoa dalam kancah perpolitikan di tanah air।

“Kalau Bapak tanya saya apa penyebabnya, ya saya kurang tahu pasti, namun penyebab utamanya bahwa kalangan dari etnis Tionghoa sangat sibuk mengurusi usaha yang dilakoninya setiap hari,”ujarnya tersenyum.

Terkait persoalan ini, praktisi Hukum, Parlindungan Simatupang menerangkan, situasi itu tercipta pada masa Orde Baru, dimana pemerintahan pada masa itu melakukan pengawasan ketat, dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mengekang kebebasan etnis Tionghoa, terutama masalah kewarganegaraan। Seperti mewajibkan mereka memperoleh SBKRI, dan menabukan budaya China (sebutan dulu) dipergelarkan, seperti Barongsai।

Selain itu, nama pribadi yang berkonotasi China harus diganti dengan nama Indonesia. Kebijakan ini dianggap sebuah diskriminatif, dan agar etnis Tionghoa mempunyai sense of belonging (rasa memiliki) terhadap bangsa dan tanah air, pemerintah Orde Baru mencanangkan assimilisi atau pembauran yang diawali dalam bidang Pendidikan. Sekolah - sekolah yang sebelumnya dikhususkan bagi etnis Tionghoa dicampurbaurkan dengan WNI.

“Selain itu, guna mengintegrasikan wawasan kebangsaan cinta tanah air, pemerintah membentuk wadah Badan Komunikasi Penghayatan Komunikasi Bangsa (Bakom PKB)। Akan tetapi secara faktual proses asimilasi tersebut belum sepenuhnya teraktualisasi dengan optimal sampai sekarang yang membuat mereka skeptis dan apriori,”katanya।

Anggota KPUD Kota Sibolga, Monang Sihombing ketika dikonfirmasi Global membenarkan masih minimnya partisipasi atau keterlibatan etnis Tionghoa di pentas perpolitikan khususnya di Kota Sibolga.

Meski demikian katanya, dibanding pada tahun – tahun sebelumnya, telah terjadi sedikit kemajuan yang dibuktikan dengan munculnya caleg perempuan dari etnis Tionghoa, Lisa Virginia dari Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dengan nomor urut I, untuk Daerah Pemilihan (Dapil) I kota Sibolga yang meliputi Kecamatan Sibolga Kota dan Kecamatan Sibolga Utara।

Tidak ada komentar: