Senin, 04 Mei 2009

Enam Nelayan Tapteng Akhirnya Dilepas

Keterangan Foto : SANDERA OTK :  Jeslin Purban (Tengah) bersama Dedi Purba (kiri) dan istri Jeslin yakni T br Hutabarat (kanan) setelah tiba dikediaman mereka di desa Desa Mela II, Kecamatan Tapian Nauli, Tapteng. Gerombolan perompak Aceh atau orang tidak dikenal (OTK) yang bersenjatakan lengkap akhirnya melepas enam nelayan Tapteng yang disandera Sabtu (25/4) lalu setelah menerima uang tebusan sebesar Rp70 juta. Para nelayan tersebut dilepas Kamis (1/5) dan tiba dikediamannya masing – masing di Desa Mela II, Kecamatan Tapian Nauli Minggu dini hari (3/5). Foto : TIGOR MANALU
 
                                Disandera OTK Selama 4 Hari 4 Malam

6 Nelayan Tapteng Akhirnya Dilepas

TIGOR MANALU | GLOBAL | TAPTENG

Gerombolan perompak Aceh atau orang tidak dikenal (OTK) yang bersenjatakan lengkap laras panjang dan pistol, akhirnya melepaskan enam nelayan Tapteng yang disandera masing – masing, Jeslin Purba (55), Dedy Purba (30), Budo (22), Abel Tamba (36), Poniman Pohan (35) dan Siman (510, Sabtu (25/4) lalu setelah menerima uang tebusan Rp70 juta. Para nelayan tersebut dilepas Kamis (1/5) dan tiba dikediamannya masing – masing di Desa Mela II, Kecamatan Tapian Nauli, Minggu dini hari (3/5).

 

Sesuai kabar berita, kedatangan keenam sandera OTK Aceh tersebut sudah tak melalui jalur laut lagi melainkan jalur darat dengan bis. Sedangkan kapal bantuan yang dibawa dari kota Tanjung balai mereka tinggal di pelabuhan Belawan, Medan. Rencananya, kedua unit kapal bantuan tersebut sudah berada dalam pengurusan Dinas Kelautan dan Perikanan, Tapteng.

 

Pantauan Global, kedatangan para nelayan langsung disambut haru istri dan anak yang ditinggal, termasuk para tetangga atau jiran sekitar, hingga perkumpulan – perkumpulan marga yang khusus datang memberikan upa – upa (sebentuk acara pemberian semangat). Suasana pada saat itu begitu memilukan, sebab kedatangan para nelayan itu disambut dengan isak tangis, khususnya dari istri dan anak masing – masing.

 

Namun terlepas dari pada itu, ditengah – tengah suasana penuh haru, salah seorang sandera OTK Aceh, Jeslin Purba (55), warga Desa Mela II, Kecamatan Tapian Nauli berkenan menerima kedatangan wartawan, Minggu (3/5) untuk dimintai kisah (kronologis) penyanderaan mereka selama berada dalam tahanan OTK Aceh tersebut.

 

Dengan logat atau bahasa daerah Batak dan diterjemahkan Global, Jeslin menceritakan kejadian yang menimpa mereka dari awal hingga hari pembebasan. Awalnya atau tepatnya Selasa malam (22/5), Jeslin bersama lima orang nelayan Mela lainnya bersama Benhard Tamba berangkat dari Tapteng menuju kota Tanjung balai untuk mengambil kapal bantuan pemerintah tersebut.

 

Rabu (23/4) pagi mereka tiba dan langsung mengecek keberadaan kapal yang dimaksud. Setelah memeriksa kelengkapan bantuan dan memenuhi kebutuhan kapal, keesokan harinya (Kamis (24/4) para nelayan tersebut memutuskan membawa kapal bantuan tersebut ke wilayah Tapteng.

 

Ketika di perjalanan atau saat memasuki perairan laut Langsa, Aceh, badai dan ombak besar datang menghadang. Karena kapal tak mungkin bisa dipaksakan melewati rintangan besar tersebut, para nelayan Tapteng ini langsung berinisiatif membuang sauh (jangkar) demi keselamatan dan berlindung di tepian pantai.

 

Ketika berlindung, sejumlah boat nelayan kecil (berjumlah 5 orang) datang menghampiri mereka untuk meminta bantuan berupa satu jiregen minyak Solar untuk kebutuhan kapal. Tetapi, para nelayan Tapteng ini hanya bersedia memberikan lima liter Solar.

 

Selanjutnya, para nelayan Tapteng ini beristrahat di atas kapal, namun menjelang tengah malam sekira pukul 21.00 WIB, tujuh orang OTK bersenjatakan laras panjang, pistol dan pisau datang dan langsung menyandera mereka (para nelayan Tapteng).

 

Sebanyak empat orang nelayan tersebut dipindah ke boat kecil dan membawa mereka berjam – jam ke wilayah daratan yang sama sekali tak mereka kenal,  hingga akhirnya tiba dan di tawan di tengah – tengah hutan belantara. Sedangkan dua orang lainnya ditinggal dikapal setelah para OTK sebelumnya mengamankan keduanya ke sebuah tempat melewati sungai dan rawa.

 

Selama penyanderaan, para nelayan Tapteng tersebut di kawal 3 – 4 orang komplotan perompak. Seandainya mereka berbuat macam – macam, nyawa pun menjadi taruhan. Tak ayal, situasi itu membuat ketakutan tersendiri bagi beberapa orang sandera karena pikiran mereka telah tertutupi oleh situasi Aceh selama ini.

 

Menurut Jeslin yang juga sebagai kapten kapal ini, selama penyanderaan, mereka diperlakukan cukup manusiawi, meskipun harus tidur beralaskan tanah, beratapkan langit dan pepohonan. Sebab, masih diberikan makan dan minum serta rokok. "Namun menu makanan kami sehari – hari selalu berubah dari awalnya daging Ayam, Ikan teri hingga akhirnya hanya sayur kacang panjang,"kata Jeslin lirih.

 

Jeslin sendiri mengaku trauma bila mengingat – ingat kejadian itu, walaupun selama penahanan, dirinya tidak pernah merasa gentar dan takut menghadapi para OTK. Ketakutannya muncul bila mengingat keselamatan anaknya yang ditahan dikapal. "Artinya, peluang untuk berbuat macam – macam saat itu ada,  namun kalau saya  berbuat bagaimana dengan keselamatan anak saya yang ditahan di kapal,"ungkapnya.

 

Senada dengan itu, Dedy Purba (30), mengaku tak kalah khawatirnya saat itu. Ia juga sempat berpikir bahwa inilah akhir dari perjalanan hidupnya. "Namun, yang paling saya khawatirkan adalah keselamatan orang tua saya. Karena, saya terus berpikir situasi mereka selama dalam penawanan,"tutur Dedy lirih.

 

Penyanderaan para nelayan Tapteng tersebut ternyata cukup memilukan bagi istri Jeslin Purba yakni T br Hutabarat. Ibu yang telah berusia 52 tahun ini nyaris saja meninggal dunia beberpa hari lalu karena tensi darahnya naik drastis menjadi 220 karena memikirkan keselamatan suami dan anaknya.

 

Menurut pengakuannya kepada Global, sejak berita panawanan itu tersiar, ingatannya tak pernah bisa terlepas dari situasi itu, bahkan matanya sulit terpejam dan selalu dirundung kesedihan hingga meneteskan air mata. Apalagi para OTK saat itu memaksa meminta uang tebusan untuk keselamatan mereka.

 

"Kondisi itulah yang membuat saya jatuh sakit seperti keadaan saya yang terlihat sekarang. Bahkan para tetangga sudah memvonis saya meninggal dunia, karena badan saya saat itu sudah tidak bisa digerakkan,"ujar Hutabarat.

 

Di kesempatan itu, Bernhard Tamba selaku Negosiator antara nelayan dan OTK mengaku terpukul dengan kejadian yang menimpa rekan – rekannya tersebut. Ia mengaku selama peristiwa itu, dirinya tak pernah bisa tenang, terlebih jika para OTK menghubunginya dan meminta uang tebusan untuk keselamatan para rekan – rekannya tersebut.

 

"Apalagi saat menghubungi itu, OTK tersebut pernah membentak yang membuat sekujur tubuh saya melemah,"tukasnya.

 

Dengan kejadian itu, para nelayan ini tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu mereka terutama pihak TNI Angkatan Laut. Meski demikian, mereka berharap, pihak – pihak terkait dapat lebih mengawasi dan mengamankan perairan laut khususnya perairan laut di Aceh yang selama ini cukup terkenal rawan dengan perompakan.

 

           


Tidak ada komentar: